Sejarah Desa boja kendal jawa tengah......................
Sejarah Desa Boja
Sejarah
Desa Boja dimulai dari tokoh yang bernama Ki Ageng Pandanaran yang kita kenal
sebagai salah satu Bupati di Semarang, konon adalah Bupati yang pertama. Ki
Ageng Pandanaran adalah keturunan dari Pangeran Mode Pandan termasuk keturunan
Sultan Demak Raden Bagus Sebrang Lor atau Pangeran Adi Pati Sepuh. Pangeran
Mode Pandan mempunyai seorang putra bernama Raden Pandanaran dan seorang putri
bernama Ni Pandansari. Atas kehendak Pangeran Mode Pandan beliau mengajak putra
dan putrinya dengan disertai oleh beberapa pengawalnya meninggalkan kota Demak
menuju ke arah barat daya guna menyebarkan agama Islam. Dan sampailah disuatu
daerah yang bernama pulau tiring dan disitulah beliau mendirikan pesantren.
Dengan keberadaan pesantren tersebut, daerah tresebut semakin ramai dan makmur
karena disamping mengajarkan agama Islam, Pangeran Mode Pandan juga mengajarkan
tata cara bertani yang baik. Berbagai jenis tanaman tumbuh di pulau tiring,
hanya satu jenis pohon yang langka (Bhs. Jawa: arang) yaitu pohon
ASEM. Sehingga suatu ketika daerah yang bernama pulau tiring tersebut berubah
menjadi SEMARANG dari kata ASEM dan ARANG. Dan disebut pula bergota karena
tempatnya yang berbukit.
Pada
suatu ketika putra Pangeran Mode Pandan yang bernama Raden Pandanaran
memerintah Semarang sebagai Bupati yang pertama dijuluki Ki Ageng Pandanaran.
Oleh karena dipandang sudah cukup untuk menjabat Bupati di Semarang beliau
seperti halnya ayahnya, melepas jabatannya sebagai Bupati Semarang dan ingin
menyebarkan agama Islam kemudian beliau pergi meninggalkan Semarang menuju ke
arah selatan tiba disuatu daerah yang sekarang bernama Tembayat, beliau
meninggalkan Tembayat dan dikenal sebagai Sunan Bayat.
Sepeninggal
kakanya Raden Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak
kakaknya tersebut dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama
Wonobodro dan Wonosari (terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari).
Karena sewaktu akan meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya
berpesan akan menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka
pengertian Ni Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama
Blimbing Segulung, disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika
rombongan Ni Pandansari sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan
agama (pesantren) dipimpin oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari
beserta oengikutnya memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan
tersebut, yang secara langsung dengan suka hati diterima dierima oleh Ki
Jiwaraga.
Di
sebelah timur perguruan tersebut terdapat dearah yang banyak ditumbuhi berbagai
tanaman bunga yang indah-indah, daerah tersebut terkenal dengan nama Tegal
Sekaran (sekarang sudah menjadi sawah) dan sifat seorang perempuan apalagi
masih status seorang gadis yang baru menginjak dewasa (diceritakan bahwa Ni
Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas cantik dan menawan) kerap
bermain dengan sesama para santri di areal tersebut dan suatu ketika bersama
kawan-kawannya membuat sayembara untuk saling menunjukkan kemahirannya membuat
sumber mata air dan siapa yang berhasil akan mendapat anugerah. Ternyata semua
kawan-kawannya tidak berhasil memenangkan sayembara tersebut, sehingga Ni
Pandansari menancapkan kerisnya (Bhs Jawa: CIS atau Keris Kecil) di tanah
sehingga berkat kekuasaan Allah, munculah sumber/mata air di lokasi dimana
keris tersebut ditancapkan dan kelak sumber mata air tersebut bernama Sendang
Sebrayat atau juga disebut juga Sendang Sebrayut. Karena dari sumber
air tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan mandi cuci, untuk pengairan
sawah/tegalan bahkan konon apabila keluarga yang sudah lama belum memiliki
keturunan (anak) air dari sumber tersebut bisa digunakana untuk sarat
memperoleh keturunan (atas seijin Allah).
Suatu
ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa,
utusan dari Keraton Cirebon bernama K Dhapuraja (konon masih keturunan Sultan
Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing Segulung tersebut.
Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua sejoli antara Ni
Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai dan berkat
petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga dinikahkan dan
hidup sebagai suami isteri.
Pada
suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga untuk
hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara dengan
diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka daerah
baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal (kini tempat
tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri bangunan
langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan lainnya,
maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang airnya
diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga pembuatan
saluran dilaksanakan sendiri oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret setagen
(Bhs Jawa: Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti
arah stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari
juga dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang
juga disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga
masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan untuk pertanian.
Ki
Dhapuraja atau juga disebut Kyai Dapu berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke
suatu daerah dan konon saking semangatnya nasehat Ni Pandansari (Nyai Dapu)
tidak diindahkan, keinginan pergi tetap berjalan dan Kyai Dhapuraja
meninggalkan istrinya. Ada suatu tempat yang oleh masyarakat sampai sekarang
diberi nama Pasinan atau terkenal dengan nama Masinan, ada sumber (mata air)
yang satu keluar air panas dan satunya kekuar air dingin, air yang panas
tersebut melambangkan perasaan sang suami karena saking semangatnya untuk pergi
dan sebaliknya air yang dingin melanmbangkan perasaan seorang isteri yang
ditinggal suami dengan sabar dan tidak emosi. Tempat daerah dimana Kyai Dhapu
tinggal, sekarang disebut Dusun Sedapu (Ndapu) salah satu dusun di Desa
Kaliputih Kecamatan Singorojo Kab. Kendal.
Sepeninggal
Kyai Dhapu, Nyai Dhapu atau Ni Pandansari tinggal bersama abdi kinasihnya
bernama Ki Wonobodro dan ki Wonosai yang kelak Ki Wonosari pergi ke suatu
tempat yang sekarang bernama Dusun Pilang ikut wilayah Desa Boja Kecamatan Boja
Kab. Kendal dan wafat serta dikubur di Dusun Pilang (pepunden warga Dusun
Pilang khususnya).
Konon
cerita Ki Wonobodro mempunyai seorang anak bernama Kyai Boja yang kemudian
menjadi Lurah pertama di Desa yang kemudian dikenal dengan Desa Boja di samping
itu juga masih membantu menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan Ni
Pandansari dan Ki Wonobodro. Akhir hayatnya Nyai Dapu dikubur di makam
Sedapu sekarang ini, sedangkan Kyai Bojo berada di pekuburan sebelah selatan.
Kyai Boja memiliki pribadi yang sederhana, sampa makamnyapun tida mau dibuat
yang permanen, beliau seorang pemimpin yang baik dan dihormati oleh
masyarakatnya dan tidak senang dipuja, bahkan pohon yang berada di sekitar
makamnya juga menghormat kepadanya (bisa dibuktikan sampai sekarang).